Siapa yang Disebut Belajar?
Coba bayangkan seseorang yang pulang kerja pukul 5 sore, lalu ganti baju, makan seadanya, dan pukul 7 malam ia duduk lesehan di sebuah ruangan kecil di belakang rumah tetangga. Di hadapannya, seorang tutor mengajak diskusi soal kewarganegaraan. Sesekali ia menguap, tapi tetap menyimak. Di akhir sesi, ia menyalami temannya, lalu pulang membawa fotokopian tugas.
Pertanyaannya: apakah itu disebut belajar?
Bagi sistem pendidikan Indonesia yang formalistis, mungkin tidak. Belajar, menurut “kitab suci” administrasi, ya yang dilakukan di sekolah formal, dengan jadwal tetap, guru bersertifikat, bangunan lengkap, dan kurikulum nasional yang dihafal habis.
Namun, bagi mereka yang berada di jalur pendidikan kesetaraan, belajar adalah tentang bertahan. Tentang menyalakan harapan di sela-sela lelah. Dan ya, tentang belajar di luar jam sekolah, di luar sistem yang formal tapi sering kali tidak inklusif.
Pendidikan Kesetaraan: Belajar dari Kehidupan
Pendidikan kesetaraan bukanlah sekolah malam. Ia adalah jalur pendidikan nonformal yang diakui setara secara hukum dengan pendidikan formal, tapi dijalankan dengan pendekatan yang jauh lebih fleksibel.
Programnya ada tiga:
- Paket A setara SD,
- Paket B setara SMP,
- Paket C setara SMA.
Siapa saja pesertanya? Macam-macam. Ada buruh pabrik, anak putus sekolah, pekerja migran, warga binaan di lapas, ibu rumah tangga, hingga remaja yang ditolak sistem sekolah formal karena usia, kondisi ekonomi, atau alasan sosial lainnya.
Mereka belajar di luar jam sekolah—karena memang tidak bisa ikut jam sekolah.
Negeri yang Terlalu Formalistis
Indonesia punya semangat inklusi yang tertulis manis dalam undang-undang. Tapi dalam praktiknya, pendidikan masih sangat berorientasi pada struktur formal. Coba perhatikan:
- Ijazah harus dari sekolah formal untuk bisa lanjut kuliah (dulu), meski sekarang mulai terbuka untuk lulusan Paket C.
- Standar pembelajaran disamakan antar jalur pendidikan, seakan semua anak punya kondisi dan kesempatan belajar yang sama.
- Pelaporan dan asesmen pun seragam, padahal situasi PKBM sangat beragam.
Sistem pendidikan kita masih melihat formalitas sebagai bukti “seriusnya” belajar. Bangunan, seragam, jam pelajaran, nilai rapor—itu semua dianggap indikator utama.
Maka, ketika ada anak muda yang belajar di sela-sela kerja ojek online, sistem ini cenderung memandang sebelah mata. Padahal, semangat belajar itu nyata dan berharga.
Logika Kesetaraan: Belajar yang Fleksibel, Tapi Diakui
Apa logika yang dibawa oleh pendidikan kesetaraan?
Bukan sekadar pengganti sekolah, melainkan cara untuk mengakui bahwa belajar bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja.
Prinsip dasarnya sederhana:
- Akses: memberi kesempatan belajar bagi yang tertinggal sistem.
- Fleksibilitas: menyesuaikan pembelajaran dengan kondisi peserta.
- Kesetaraan: meski jalurnya beda, hasilnya diakui sama.
Namun, logika ini masih harus “bernegosiasi” dengan sistem pendidikan nasional yang sangat mengandalkan struktur formal dan keseragaman. Akibatnya? Jalur kesetaraan sering dianggap kelas dua.
Ruang Alternatif, Tapi Tidak Asal-asalan
Salah satu institusi utama dalam pendidikan kesetaraan adalah PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). Di sinilah proses belajar terjadi:
- Ada yang pakai ruang kelas bekas posyandu,
- Ada yang belajar di rumah tutor,
- Ada pula yang menggunakan balai desa.
Jam belajarnya pun fleksibel:
- Malam hari untuk peserta yang bekerja,
- Akhir pekan untuk yang sekolah sambil kerja,
- Bahkan daring untuk wilayah yang tak terjangkau.
Tapi jangan salah. Meski terlihat informal, proses pembelajaran tetap mengacu pada kurikulum nasional. Bahkan sejak Kurikulum Merdeka diberlakukan, PKBM pun diharapkan ikut menerapkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Masalahnya: sumber daya dan pelatihan tutor di PKBM belum sekuat di sekolah formal.
Siapa yang Belajar di Luar Jam Sekolah?
Mari kita lebih dekat pada wajah-wajah yang belajar di luar jam sekolah. Supaya kita sadar bahwa ini bukan soal sistem alternatif—tapi soal kehidupan nyata.
1. Remaja yang Bekerja
Tak semua remaja bisa sekolah penuh waktu. Banyak dari mereka harus bantu orang tua, ikut kerja proyek, atau berdagang. Belajar di malam hari lewat Paket B atau C adalah satu-satunya cara.
2. Perempuan yang Tertunda Belajarnya
Banyak perempuan yang menikah muda dan terputus sekolah. Di usia 30-an, mereka kembali belajar lewat PKBM. Bukan demi ijazah semata, tapi demi rasa percaya diri dan masa depan anak-anaknya.
3. Warga Binaan Lapas
Di balik jeruji, ada ribuan narapidana yang belajar lewat pendidikan kesetaraan. Di tengah keterbatasan, mereka menata hidup lewat buku dan tugas-tugas belajar. Bagi mereka, belajar adalah bentuk kebebasan.
4. Anak-anak yang Ditolak Sistem
Ada anak-anak yang dikeluarkan dari sekolah karena alasan perilaku, ekonomi, atau tidak sesuai “standar”. Di PKBM, mereka diberi ruang untuk memulai lagi—tanpa stigma.
Apa Saja Tantangannya?
Meskipun pendidikan kesetaraan penuh semangat, jalan mereka tidak mudah. Berikut beberapa tantangan yang sering muncul:
1. Stigma Sosial
Masih banyak yang menganggap pendidikan kesetaraan sebagai “kelas dua”. Ijazah Paket C sering kali dipandang kurang bergengsi dibanding SMA formal.
2. Dukungan Pemerintah yang Minim
PKBM sering mengalami keterbatasan anggaran, minimnya pelatihan tutor, serta beban administrasi yang sama beratnya dengan sekolah formal.
3. Ketimpangan Akses Teknologi
Dalam era digital, banyak pembelajaran didorong ke platform online. Tapi tidak semua peserta punya gadget atau kuota. Ini menciptakan kesenjangan baru.
4. Pengakuan Dunia Kerja dan Pendidikan Tinggi
Meski secara hukum setara, ijazah kesetaraan kadang masih diragukan oleh sebagian perusahaan atau kampus. Butuh kerja ekstra untuk meyakinkan mereka.
Mengapa Pendidikan Kesetaraan Harus Didukung?
Karena ia mengisi celah-celah yang tidak bisa dijangkau oleh pendidikan formal.
Karena ia menghargai semangat belajar orang-orang yang nyaris dilupakan.
Karena ia mewujudkan hak belajar sepanjang hayat yang dijamin UUD 1945.
Lebih dari itu, pendidikan kesetaraan membawa pesan penting:
Bahwa belajar itu hak, bukan kemewahan.
Dan bahwa sistem pendidikan harus melayani keberagaman, bukan menyeragamkan semua.
Menuju Sistem Pendidikan yang Lebih Inklusif
Agar pendidikan kesetaraan tidak terus-menerus menjadi “jalur darurat”, ada beberapa hal yang perlu dilakukan:
1. Perkuat Daya Dukung PKBM
Berikan pelatihan tutor yang rutin, anggaran operasional yang memadai, serta perangkat ajar yang kontekstual. Jangan hanya berharap PKBM mandiri tanpa sokongan nyata.
2. Ubah Cara Pandang Masyarakat
Lewat kampanye publik dan testimoni peserta didik, kita perlu membangun narasi baru: belajar di PKBM bukan aib, tapi pilihan bermartabat.
3. Fleksibilitas Kebijakan
Kurikulum Merdeka seharusnya memberi ruang inovasi, bukan menyamaratakan. Biarkan PKBM menyesuaikan pendekatan belajar dengan konteks lokalnya.
4. Bangun Jembatan ke Dunia Kerja dan Perguruan Tinggi
Permudah lulusan pendidikan kesetaraan untuk lanjut kuliah atau masuk dunia kerja, tanpa diskriminasi. Pengakuan itu penting untuk memperkuat kepercayaan diri mereka.
Belajar Tak Harus di Bangku Sekolah
Di negeri yang formalistis, pendidikan sering kali diukur dari hal-hal simbolik: gedung, seragam, nilai ujian, dan akreditasi. Tapi pendidikan yang sejati bukan sekadar simbol.
Ia terjadi saat seseorang memilih untuk terus belajar—di tengah kerja, lelah, atau bahkan stigma.
Ia terjadi di rumah, di lapas, di pabrik, atau di pojok balai desa.
Ia terjadi di luar jam sekolah.
Dan ketika negara mulai menghargai itu, barulah kita bisa menyebut bahwa pendidikan kita benar-benar adil, setara, dan manusiawi.
Untuk para pembelajar malam, para tutor senyap, dan para pengelola PKBM yang tak pernah masuk headline—artikel ini untuk kalian.
Karena logika kesetaraan lahir bukan dari ruang kelas, tapi dari hidup itu sendiri.




