Bagi banyak orang, sekolah adalah bangunan dengan papan tulis, seragam, dan bel berbunyi di pagi hari. Tapi, apa jadinya kalau seseorang tidak bisa masuk ke ruang kelas itu? Bukan karena malas, tapi karena hidup memaksanya memilih: bekerja atau belajar, mengasuh atau sekolah, bertahan atau menyerah.

Inilah kenyataan yang dihadapi oleh jutaan warga Indonesia. Bagi mereka, pendidikan formal sering kali menjadi mimpi yang tertunda atau bahkan terkubur. Namun, cerita tidak berhenti di situ. Di luar sekolah-sekolah formal, ada ruang belajar yang mungkin tidak megah, tidak ber-AC, dan tidak masuk TV. Tapi di sana, harapan tumbuh. Ruang-ruang itu bernama PKBM, TBM, atau bahkan rumah warga yang disulap menjadi tempat belajar.

Di sinilah pendidikan kesetaraan mengambil peran. Bukan sebagai pelengkap, bukan juga sebagai cadangan—tetapi sebagai harapan kedua, atau justru harapan satu-satunya.

Apa Itu Pendidikan Kesetaraan?

Pendidikan kesetaraan adalah bagian dari pendidikan nonformal yang disediakan untuk mereka yang tidak dapat mengakses pendidikan formal. Program ini dibagi menjadi tiga jenjang:

  • Paket A: setara SD,
  • Paket B: setara SMP,
  • Paket C: setara SMA.

Kurikulumnya mengikuti Kurikulum Merdeka, tetapi dengan pendekatan yang lebih fleksibel. Tidak ada keharusan hadir lima hari seminggu. Belajarnya bisa malam hari, akhir pekan, atau lewat WhatsApp. Pesertanya? Mulai dari remaja putus sekolah, ibu rumah tangga, sampai pekerja pabrik dan tukang ojek.

Yang menarik, banyak dari mereka tidak sekadar ingin ijazah. Mereka ingin kembali belajar karena sadar: pengetahuan bisa mengubah nasib.


Mengapa Mereka Kembali Belajar?

1. Mengejar Mimpi yang Tertunda

Bayangkan seorang anak buruh tani di desa yang harus berhenti sekolah karena harus membantu orang tua mencari nafkah. Belasan tahun kemudian, ketika anak-anaknya sudah mulai besar, ia merasa ada yang hilang. Ia ingin kembali membuka buku, bukan demi nilai, tapi demi harga diri. Ia mengikuti Paket C, tidak untuk menjadi “siswa lagi”, tapi untuk menjadi pribadi yang tidak pernah berhenti tumbuh.

“Saya mau bisa baca koran tanpa bingung. Saya mau bisa bantu anak saya ngerjain PR,” ujar Ibu Siti, peserta Paket C berusia 42 tahun dari Garut.

2. Izin untuk Mimpi Lebih Besar

Beberapa peserta mengikuti pendidikan kesetaraan karena ingin melanjutkan kuliah. Tak sedikit juga yang ingin naik jabatan, melamar kerja, atau membuka usaha dengan legalitas yang lebih jelas. Ijazah dibutuhkan, iya, tapi proses belajarnya yang lebih menyentuh.

“Saya kerja di bengkel motor, tapi selalu pengen buka bengkel sendiri. Sekarang saya belajar juga cara ngitung modal dan bikin laporan keuangan. Ternyata, belajar seru juga ya,” kata Fajar, peserta Paket B yang juga ikut pelatihan wirausaha.

3. Menemukan Jati Diri

Bagi sebagian orang, sekolah dulu adalah tempat penuh tekanan. Nilai jadi patokan harga diri. Tapi di pendidikan kesetaraan, banyak yang bilang: “Saya baru benar-benar menikmati belajar.” Kenapa? Karena di sini, tidak ada yang tertinggal. Semua belajar sesuai kemampuan, dan semua dihargai.


Belajar yang Kontekstual dan Bermakna

Yang membedakan pendidikan kesetaraan dari sekolah formal bukan hanya jadwal atau tempatnya. Cara belajarnya pun berbeda. Di banyak PKBM, pembelajaran dilakukan berbasis proyek: membuat karya, berdiskusi tentang masalah lingkungan, belajar ke pasar, atau bahkan membuat film pendek.

Ini bukan belajar demi ujian. Ini belajar demi hidup.

Contohnya di PKBM di Klaten, peserta Paket C membuat pameran foto tentang kehidupan mereka. Dari proses itu, mereka belajar menulis, berbicara di depan umum, dan yang paling penting: menceritakan siapa mereka.


Siapa yang Mengajar?

Tutor pendidikan kesetaraan bukan hanya guru, mereka adalah fasilitator, sahabat belajar, bahkan terkadang menjadi tempat curhat. Banyak dari mereka bukan lulusan pendidikan formal guru, tapi mereka punya hati besar untuk menemani proses belajar yang tidak mudah.

“Kami tidak hanya mengajar pelajaran, tapi juga menemani proses hidup. Banyak peserta kami yang harus memilih antara beli beras atau ongkos datang ke kelas,” kata Pak Didi, tutor dari PKBM di Lampung.


Tantangan di Jalur Kesetaraan

Meski penuh semangat dan cerita inspiratif, pendidikan kesetaraan juga menghadapi banyak tantangan:

  1. Stigma Sosial
    Banyak orang masih memandang pendidikan kesetaraan sebagai “kelas dua”. Padahal, ijazahnya setara, dan kompetensinya pun bisa sama—bahkan lebih.
  2. Keterbatasan Sarana
    Banyak PKBM dan TBM beroperasi dengan dana terbatas. Ruangan seadanya, buku minim, bahkan tutor sering mengajar secara sukarela.
  3. Konsistensi Belajar Peserta
    Karena sebagian peserta sudah bekerja atau berkeluarga, mereka sering tidak bisa konsisten hadir. Tantangan ini membuat tutor harus ekstra kreatif dalam menjaga semangat belajar.
  4. Kurangnya Dukungan Publik
    Pendidikan kesetaraan masih jarang menjadi perhatian utama dalam program pemerintah daerah, apalagi dunia usaha. Padahal, potensi dampaknya sangat besar.

Namun, Cahaya Selalu Ada

Di balik semua keterbatasan, selalu ada cahaya kecil yang menyala. Ada PKBM yang mampu memberdayakan ibu-ibu rumah tangga untuk belajar menulis cerita dan menerbitkan antologi. Ada TBM yang menjadi tempat anak-anak kampung belajar coding. Ada peserta didik yang setelah lulus Paket C, berhasil masuk universitas dan menjadi dosen.

Pendidikan kesetaraan bukan jalan pintas. Ia adalah jalan panjang yang dipilih oleh mereka yang berani berharap, bahkan ketika harapan itu sempat hilang.


Membaca Arti Belajar Ulang

Apa arti belajar bagi mereka yang ikut pendidikan kesetaraan?

Bagi sebagian orang, belajar adalah tentang ranking. Tapi bagi mereka, belajar adalah tentang keberanian untuk memulai lagi.
Bagi sebagian orang, sekolah adalah kewajiban. Tapi bagi mereka, sekolah adalah pilihan sadar, yang diperjuangkan di antara jam kerja dan waktu istirahat.
Dan bagi kita semua, mereka adalah pengingat bahwa belajar bukan hanya hak anak-anak. Belajar adalah hak hidup manusia.


Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kalau kamu membaca artikel ini dan merasa tersentuh, jangan berhenti di situ. Berikut beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mendukung pendidikan kesetaraan:

  1. Kenali dan Hargai PKBM dan TBM di Sekitar Kita
    Mereka bukan tempat belajar “pinggiran”, tapi justru jantung pendidikan masyarakat.
  2. Bagikan Cerita Positif
    Bantu lawan stigma dengan menyebarkan cerita-cerita inspiratif dari jalur kesetaraan.
  3. Jadi Relawan atau Donatur
    Banyak lembaga pendidikan kesetaraan yang butuh dukungan, baik dalam bentuk tenaga maupun materi.
  4. Dorong Pemerintah Daerah dan Swasta Peduli
    Ajak pihak-pihak berpengaruh untuk menjadikan pendidikan kesetaraan sebagai program prioritas.

Karena Semua Orang Berhak Belajar

Di balik ijazah Paket A, B, atau C, ada kisah perjuangan yang tidak terlihat. Ada keringat, air mata, dan tekad yang luar biasa. Mereka yang menempuh jalur kesetaraan tidak mencari simpati. Mereka hanya ingin satu hal: kesempatan yang sama untuk belajar, tumbuh, dan bermimpi.

Dan sebagai bangsa, tugas kita bukan sekadar memberi ijazah. Tugas kita adalah memastikan bahwa setiap warga negara punya akses untuk belajar bermakna—tidak peduli usia, latar belakang, atau masa lalu.

Karena belajar bukan soal gedung.
Belajar adalah soal harapan.
Dan harapan itu, tidak boleh dimonopoli.


Artikel ini didedikasikan untuk semua peserta dan penyelenggara pendidikan kesetaraan di seluruh Indonesia. Terima kasih telah membuktikan bahwa belajar tidak pernah terlambat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Explore More

Membangun Literasi Fungsional di Kalangan Masyarakat Marginal

Ketika Bisa Membaca Tak Cukup Coba bayangkan ini: seorang ibu di pelosok desa bisa membaca huruf demi huruf di label obat, tapi ia tidak tahu apa arti “takaran”, “dosis”, atau

Belajar di Luar Jam Sekolah: Logika Kesetaraan di Negeri Formalistis

Siapa yang Disebut Belajar? Coba bayangkan seseorang yang pulang kerja pukul 5 sore, lalu ganti baju, makan seadanya, dan pukul 7 malam ia duduk lesehan di sebuah ruangan kecil di

Membaca Kurikulum Merdeka dari Sudut PKBM: Apakah Benar Merdeka?

Ketika “Merdeka” Menjadi Kata Kunci Baru Beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di Indonesia diwarnai dengan istilah yang terdengar segar dan penuh harapan: Kurikulum Merdeka. Mulai dari ruang kelas SD hingga