Ketika “Merdeka” Menjadi Kata Kunci Baru

Beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di Indonesia diwarnai dengan istilah yang terdengar segar dan penuh harapan: Kurikulum Merdeka. Mulai dari ruang kelas SD hingga papan presentasi kementerian, istilah ini menghiasi percakapan pendidikan nasional. Semangatnya adalah memberi ruang bagi peserta didik dan guru untuk merdeka: merdeka belajar, merdeka mengajar, merdeka menentukan arah.

Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya: bagaimana kabar “kemerdekaan” itu di jalur pendidikan nonformal?

Lebih spesifik lagi, bagaimana Kurikulum Merdeka hadir—atau tidak hadir—di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), tempat di mana pendidikan kesetaraan hidup, bertumbuh, dan terus berjuang?

Apakah “kemerdekaan” itu benar-benar bisa dirasakan oleh peserta didik yang belajar sambil bekerja? Oleh tutor yang mengajar di tengah keterbatasan? Oleh pengelola PKBM yang berjibaku dengan laporan, dana terbatas, dan harapan masyarakat?

Mari kita lihat lebih dalam. Karena kadang, apa yang tampak merdeka di atas kertas, belum tentu terasa merdeka di lapangan.


Sekilas tentang PKBM dan Kurikulum Merdeka

PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) adalah lembaga pendidikan nonformal yang menyelenggarakan berbagai program pembelajaran, salah satunya pendidikan kesetaraan—yakni Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA).

PKBM selama ini bekerja dalam kondisi yang sangat beragam: ada yang berbasis komunitas kuat, ada yang bertahan hidup dengan dana minim. Di tengah keragaman itu, datanglah Kurikulum Merdeka, membawa misi baru:

  • Pembelajaran berbasis projek,
  • Fokus pada kompetensi esensial,
  • Fleksibilitas dalam memilih materi dan cara belajar,
  • Penguatan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila.

Bagi sebagian guru di sekolah formal, Kurikulum Merdeka terasa menyegarkan. Tapi bagaimana dengan PKBM?


Ketika Merdeka Harus Diupayakan

1. Kebebasan yang Tidak Selalu Bebas

Kurikulum Merdeka menjanjikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan dalam merancang pembelajaran. Tapi di PKBM, “merancang” bukan hal yang mudah.

“Kami disuruh menyusun modul ajar sendiri, padahal tutor kami bukan semua lulusan pendidikan. Bahkan kadang ada yang merangkap kerja lain. Gimana mau bebas, kalau belum siap?”
— Pengelola PKBM, Lampung

Di atas kertas, Kurikulum Merdeka memberi kebebasan memilih. Tapi di lapangan, kebebasan itu justru bisa membingungkan. Karena untuk bisa bebas, butuh kapasitas dan sumber daya. Dan itulah yang sering kali tidak dimiliki oleh PKBM.


2. Profil Pelajar Pancasila: Ideal Tapi Jauh

Salah satu inti dari Kurikulum Merdeka adalah penguatan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila: beriman, mandiri, gotong royong, kreatif, bernalar kritis, dan berkebinekaan global.

Tapi pertanyaannya: bagaimana membangun itu semua dalam situasi belajar yang tidak ideal? Peserta didik datang tidak rutin, pembelajaran kadang berlangsung di rumah warga, dan tutor harus menyesuaikan materi dengan kondisi sosial yang sangat kontras.

“Peserta saya ada yang kerja siang malam, datang belajar sambil ngantuk. Saya nggak tega maksa mereka diskusi soal ‘berkebinekaan global’ dulu. Kadang saya cuma ngajak mereka cerita soal hidup mereka.”
— Tutor Paket C, Bekasi


3. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5): Bisa Tapi Butuh Waktu dan Dukungan

Salah satu kebaruan di Kurikulum Merdeka adalah kegiatan P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Di PKBM, ide ini sebenarnya sangat relevan—karena peserta didik memang belajar dari kehidupan.

Namun, banyak PKBM bingung:

  • Bagaimana menyusun projek yang sesuai dengan jenjang pendidikan dan konteks peserta?
  • Bagaimana membuat laporan P5 yang disyaratkan, kalau tutor belum dilatih?
  • Bagaimana menilai hasil projek tanpa membuatnya jadi formal dan kaku?

Beberapa PKBM kreatif memodifikasi:

  • Membuat projek lingkungan dengan membersihkan sungai,
  • Membuat bazar makanan lokal sebagai bentuk belajar kewirausahaan,
  • Membuat podcast tentang kisah hidup mereka sebagai bentuk literasi dan ekspresi diri.

Tapi kegiatan seperti itu sering tak tercatat “resmi” karena tak sesuai format pelaporan.


Merdeka Belajar: Bagi Siapa?

Konsep “merdeka belajar” seharusnya memberi ruang bagi peserta didik untuk belajar sesuai minat, gaya, dan kecepatan mereka sendiri. Di PKBM, ini sebenarnya bukan konsep baru—justru sudah berlangsung lama.

Sejak dulu, PKBM mempraktikkan:

  • Pembelajaran kontekstual: belajar sambil menjahit, berdagang, bertani.
  • Fleksibilitas waktu dan tempat: kelas malam, kelas Sabtu-Minggu, kelas WhatsApp.
  • Pendekatan humanis: tutor mendengarkan, bukan mendikte.

Jadi sebenarnya, Kurikulum Merdeka justru mengafirmasi apa yang sudah dilakukan PKBM.

Namun, ketika “kemerdekaan” ini diformalkan—dengan perangkat seperti modul ajar, asesmen diagnostik, pelaporan P5—PKBM justru kembali merasa “terikat”.

“Dulu kami bebas karena dibiarkan. Sekarang disuruh bebas, tapi dibatasi format. Bingung juga.”
— Pengelola PKBM, NTB


Kurikulum Merdeka = Beban Baru?

Tidak sedikit pengelola PKBM yang merasa Kurikulum Merdeka menjadi “beban baru” alih-alih penyegaran. Mengapa?

  1. Minim Sosialisasi dan Pelatihan
    Banyak tutor tidak mendapat pelatihan memadai tentang kurikulum ini. Akhirnya hanya menyalin perangkat dari internet atau menyesuaikan seadanya.
  2. Tekanan Administratif
    Meskipun diklaim fleksibel, realitanya tetap ada laporan, format, dan target yang harus diisi. Padahal, tenaga administrasi di PKBM sangat terbatas.
  3. Tidak Adil Secara Dukungan
    Sekolah formal mendapatkan pelatihan, modul, dan perangkat ajar lengkap dari dinas. PKBM? Harus membuat sendiri atau mencari sendiri.
  4. Gap Teknologi
    Banyak PKBM belum punya infrastruktur digital yang memadai, padahal Kurikulum Merdeka mengandalkan platform seperti PMM (Platform Merdeka Mengajar).

Bukan Tolak Kurikulum, Tapi Sesuaikan Realita

Bukan berarti PKBM menolak Kurikulum Merdeka. Sebaliknya, banyak dari mereka mendukung semangatnya. Tapi agar bisa benar-benar “merdeka”, dibutuhkan hal-hal ini:

1. Fleksibilitas yang Sesungguhnya

Berikan keleluasaan bagi PKBM dalam menerjemahkan kurikulum sesuai konteks, tanpa dipaksa meniru sekolah formal. Jangan samakan cara ukur, tapi samakan semangat belajar bermakna.

2. Pendampingan yang Setara

Berikan pelatihan, mentoring, dan perangkat ajar yang relevan untuk PKBM. Jangan hanya fokus pada guru formal. Tutor juga butuh dibekali, bukan hanya dituntut.

3. Perangkat Ajarnya Ringan dan Kontekstual

PKBM tidak butuh perangkat ajar setebal modul sekolah. Mereka butuh bahan ajar yang ringan, aplikatif, dan mudah dipahami tutor non-guru.

4. Pendekatan Berbasis Komunitas

Libatkan komunitas lokal dalam pengembangan P5 atau pembelajaran berbasis projek. Jadikan PKBM sebagai pusat kehidupan belajar masyarakat, bukan hanya tempat “ambil ijazah”.


Akhirnya, Merdeka Itu Soal Rasa

Kurikulum Merdeka menjanjikan kebebasan. Tapi merdeka bukan cuma soal regulasi, tapi soal rasa.

  • Apakah peserta merasa dihargai dalam proses belajar?
  • Apakah tutor merasa dipercaya, bukan hanya diperintah?
  • Apakah pengelola PKBM merasa didukung, bukan ditinggalkan?

Karena bila kita ingin pendidikan nonformal tumbuh dan bermartabat, maka kita harus membebaskan PKBM dari beban sistem yang terlalu formal dan kaku.


Jalan Panjang Menuju Kemerdekaan Belajar yang Sebenarnya

PKBM adalah tempat orang-orang bangkit dari putus sekolah, dari keterbatasan, dari stigma. Mereka belajar bukan karena diwajibkan, tapi karena ingin berubah.

Kurikulum Merdeka bisa menjadi alat yang sangat berguna—jika ia tidak dipaksakan dalam format sekolah formal. Ia harus menjadi ruang kolaborasi, bukan kompetisi. Ia harus jadi wadah tumbuh bersama, bukan sekadar “copy paste” inovasi.

Jadi, apakah Kurikulum Merdeka benar-benar merdeka di PKBM?
Jawabannya: belum sepenuhnya. Tapi bisa—kalau kita berhenti mengukur kemerdekaan dengan format yang sama untuk semua.

Dan mungkin, saat kita membebaskan PKBM dari tekanan administratif, dari tuntutan seragam, dan mulai mendengar suara mereka,
barulah Kurikulum Merdeka benar-benar terasa… merdeka.


Artikel ini didedikasikan untuk semua tutor, pengelola, dan peserta didik PKBM di seluruh Indonesia yang terus belajar dan mengajar—meski sering tak masuk statistik.
Terima kasih telah menjaga nyala harapan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Explore More

Bukan Sekadar Ijazah: Mencari Arti Belajar di Jalur Kesetaraan

Bagi banyak orang, sekolah adalah bangunan dengan papan tulis, seragam, dan bel berbunyi di pagi hari. Tapi, apa jadinya kalau seseorang tidak bisa masuk ke ruang kelas itu? Bukan karena

Tutor Bukan Guru Biasa: Mereka yang Menyalakan Asa di Balik Statistik

Lebih dari Sekadar Mengajar Coba bayangkan ini: seorang ibu rumah tangga yang tak tamat SMP, kini di usia 40-an, duduk gelisah di hadapan selembar kertas tugas. Di sebelahnya, seorang pria

Belajar di Luar Jam Sekolah: Logika Kesetaraan di Negeri Formalistis

Siapa yang Disebut Belajar? Coba bayangkan seseorang yang pulang kerja pukul 5 sore, lalu ganti baju, makan seadanya, dan pukul 7 malam ia duduk lesehan di sebuah ruangan kecil di