Ketika Bisa Membaca Tak Cukup

Coba bayangkan ini: seorang ibu di pelosok desa bisa membaca huruf demi huruf di label obat, tapi ia tidak tahu apa arti “takaran”, “dosis”, atau “perhatian”. Seorang buruh harian bisa menulis namanya sendiri, tapi kesulitan membaca kontrak kerja yang ia tanda tangani. Seorang remaja putus sekolah bisa membuka ponsel, tapi tak tahu informasi mana yang benar dan mana yang hoaks.

Di sinilah kita sadar bahwa literasi bukan sekadar bisa membaca dan menulis.

Literasi, terutama literasi fungsional, adalah kemampuan menggunakan pengetahuan dan keterampilan membaca, menulis, berhitung, dan berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah bentuk literasi yang menyelamatkan: membantu masyarakat mengambil keputusan, melindungi diri, dan memperjuangkan hidup yang lebih baik.

Dan literasi semacam ini sangat dibutuhkan—terutama di kalangan masyarakat marginal.


Siapa yang Disebut Masyarakat Marginal?

Masyarakat marginal adalah mereka yang berada di pinggiran sistem sosial dan ekonomi. Mereka tidak selalu tinggal jauh di pelosok, tapi seringkali terpinggirkan dalam akses pendidikan, kesehatan, dan layanan publik. Mereka bisa berupa:

  • Komunitas adat atau terpencil,
  • Warga urban miskin,
  • Warga binaan di lembaga pemasyarakatan,
  • Difabel yang tidak terlayani pendidikan formal,
  • Buruh migran, pekerja informal,
  • Anak-anak jalanan dan remaja putus sekolah.

Mereka bukan tidak mampu belajar, tapi sering tidak diberi kesempatan belajar yang sesuai.


Mengapa Literasi Fungsional Penting untuk Mereka?

Literasi fungsional bukan soal nilai ujian, tapi soal kemampuan bertahan hidup dan berkembang. Bagi masyarakat marginal, literasi fungsional bisa berarti:

  • Bisa membaca label obat dengan benar untuk menyelamatkan nyawa anaknya,
  • Bisa menulis laporan sederhana untuk usaha kecil-kecilan,
  • Bisa berhitung saat memberi harga dagangan di pasar,
  • Bisa membedakan informasi palsu yang berbahaya di media sosial,
  • Bisa menulis surat atau mengisi formulir layanan publik tanpa bantuan.

Singkatnya, literasi fungsional membuat mereka berdaya di tengah keterbatasan.


Apa Saja Bentuk Literasi Fungsional?

1. Literasi Baca Tulis

Kemampuan membaca dan menulis dalam konteks kehidupan sehari-hari. Misalnya membaca rambu lalu lintas, menulis surat, mengisi formulir BPJS, atau membuat catatan keuangan harian.

2. Literasi Numerasi

Kemampuan berhitung yang aplikatif. Seperti menghitung kembalian, mengatur anggaran rumah tangga, atau memahami suku bunga pinjaman.

3. Literasi Digital

Kemampuan menggunakan teknologi secara aman dan cerdas. Termasuk mengenali hoaks, menggunakan aplikasi e-commerce, atau melindungi data pribadi.

4. Literasi Finansial

Kemampuan mengelola uang: menabung, membuat anggaran, memahami risiko utang, atau menjalankan usaha kecil.

5. Literasi Kesehatan

Kemampuan memahami informasi medis dan menjaga kesehatan pribadi dan keluarga.


Bagaimana Literasi Fungsional Dibangun?

A. Melalui Pendidikan Nonformal yang Kontekstual

Pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), TBM, dan organisasi masyarakat menjadi ujung tombak. Kegiatan belajar disesuaikan dengan kebutuhan peserta:

  • Di desa nelayan, belajar baca tulis dikaitkan dengan membaca arah angin atau menghitung hasil tangkapan.
  • Di komunitas pasar, belajar dilakukan sambil berdagang.
  • Di TBM, literasi digital diajarkan lewat praktik langsung membuat akun jualan online.

Prinsipnya: belajar dari kehidupan untuk kehidupan.


B. Dengan Modul dan Media yang Akrab

Banyak peserta didik masyarakat marginal bukan “pecinta buku” karena sejak awal tidak akrab dengan buku teks. Maka bahan ajar disesuaikan:

  • Modul dengan gambar dan bahasa lokal,
  • Cerita pendek yang dekat dengan kehidupan sehari-hari,
  • Video dan audio untuk yang kesulitan membaca,
  • Alat bantu nyata: kalkulator, poster, atau media interaktif sederhana.

C. Melibatkan Tutor Sebaya dan Fasilitator Masyarakat

Tutor bukan hanya guru, tapi bisa jadi:

  • Anak muda dari kampung yang pernah ikut pelatihan dan sekarang membantu orang tuanya belajar,
  • Warga senior yang disegani dan dipercaya,
  • Relawan yang memahami konteks lokal.

Kunci keberhasilannya bukan pada gelar, tapi pada kedekatan dan kepercayaan.


Kisah Nyata: Literasi yang Mengubah Hidup

Kisah 1: Mbah Warti, 67 Tahun, Belajar Menulis

Di desa kecil di Kulon Progo, Mbah Warti belajar menulis namanya sendiri untuk pertama kali. Ia ikut kelas keaksaraan karena tidak mau lagi “diminta cap jempol” setiap mengurus bantuan. Sekarang, ia sudah bisa tanda tangan dan mengisi formulir sendiri.

“Saya nggak malu belajar. Yang malu itu kalau nggak tahu terus diem aja,” katanya sambil tersenyum bangga.


Kisah 2: Santri Lapas yang Kini Menjadi Penulis

Di sebuah lapas di Sumatera Barat, sekelompok warga binaan mengikuti kelas literasi. Dari menulis surat, mereka berkembang ke menulis puisi dan cerpen. Sebagian karya mereka kini diterbitkan. Literasi menjadi cara mereka berdamai dengan masa lalu dan merancang masa depan.


Kisah 3: Remaja Pinggir Rel Jadi Agen Literasi Digital

Rio, remaja 16 tahun di Jakarta Utara, dulunya bolos sekolah dan nongkrong di pinggir rel. Sekarang, ia aktif di TBM sebagai mentor adik-adik belajar gadget secara positif. Ia mengajarkan cara mengedit video, membuat poster, dan membedakan berita palsu.

“Kalau dulu main HP buat game, sekarang buat konten. Biar bisa terkenal tapi juga bermanfaat,” ujarnya.


Tantangan di Lapangan

Membangun literasi fungsional tidak selalu mudah. Beberapa tantangan yang sering muncul:

  1. Stigma dan Rasa Malu
    Banyak orang dewasa merasa malu belajar dari nol, terutama perempuan atau orang tua. Mereka butuh pendekatan yang penuh empati dan non-diskriminatif.
  2. Akses Teknologi dan Infrastruktur
    Literasi digital sulit dibangun kalau sinyal susah, kuota mahal, dan perangkat minim.
  3. Konsistensi Peserta
    Peserta didik sering kali harus membagi waktu antara belajar, bekerja, dan mengurus keluarga. Fleksibilitas dan pemahaman dari fasilitator sangat penting.
  4. Keterbatasan Sumber Daya
    Banyak TBM dan PKBM berjalan dengan dana swadaya atau bantuan terbatas. Media belajar dan pelatihan tutor sering kali kurang memadai.

Apa yang Bisa Dilakukan untuk Memperkuat Literasi Fungsional?

Untuk Pemerintah:

  • Masukkan indikator literasi fungsional dalam kebijakan pendidikan nonformal.
  • Berikan dukungan anggaran dan pelatihan untuk fasilitator komunitas.
  • Integrasikan program literasi dengan layanan dasar seperti kesehatan, koperasi, dan perlindungan sosial.

Untuk Masyarakat:

  • Buka ruang belajar inklusif di komunitas masing-masing.
  • Hargai dan dukung warga yang sedang belajar, tidak mengejek atau meremehkan.

Untuk Dunia Usaha:

  • Libatkan diri dalam program CSR berbasis literasi: pelatihan digital, keuangan, atau wirausaha.

Untuk Media dan Influencer:

  • Kampanyekan pentingnya literasi fungsional dengan konten yang ringan, inspiratif, dan membumi.

Membaca Dunia, Mengubah Hidup

Literasi fungsional adalah jembatan dari ketidaktahuan menuju kemandirian. Ia bukan tentang mengejar nilai sempurna, tapi tentang membuka mata dan hati.
Ketika masyarakat marginal bisa membaca dunia sekitarnya—dan dirinya sendiri—maka mereka bisa mengubah arah hidupnya.

“Orang yang bisa membaca, tapi tidak tahu apa yang dibacanya, seperti melihat dunia dengan mata tertutup,” kata seorang tutor literasi dari Nusa Tenggara.


Penutup: Belajar Itu Hak, Bukan Hadiah

Setiap orang berhak untuk belajar. Bukan karena mereka cerdas, tapi karena mereka manusia.
Membangun literasi fungsional di kalangan masyarakat marginal bukan sekadar proyek, tapi tanggung jawab sosial.
Dan jika dilakukan dengan hati, hasilnya bukan hanya perubahan di atas kertas, tapi perubahan nyata di kehidupan sehari-hari.

Jadi, saat kita bertanya:
“Berapa banyak yang sudah bisa baca?”
Lebih baik kita bertanya:
“Sudah berapa banyak yang hidupnya berubah karena bisa membaca?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Explore More

Bukan Sekadar Ijazah: Mencari Arti Belajar di Jalur Kesetaraan

Bagi banyak orang, sekolah adalah bangunan dengan papan tulis, seragam, dan bel berbunyi di pagi hari. Tapi, apa jadinya kalau seseorang tidak bisa masuk ke ruang kelas itu? Bukan karena

Belajar di Luar Jam Sekolah: Logika Kesetaraan di Negeri Formalistis

Siapa yang Disebut Belajar? Coba bayangkan seseorang yang pulang kerja pukul 5 sore, lalu ganti baju, makan seadanya, dan pukul 7 malam ia duduk lesehan di sebuah ruangan kecil di