Lebih dari Sekadar Mengajar
Coba bayangkan ini: seorang ibu rumah tangga yang tak tamat SMP, kini di usia 40-an, duduk gelisah di hadapan selembar kertas tugas. Di sebelahnya, seorang pria muda membantunya memahami isi bacaan. Ia bukan guru bersertifikat. Ia tidak mengenakan seragam PNS. Tapi ia tahu satu hal: perempuan di hadapannya layak mendapat kesempatan kedua untuk belajar. Ia adalah seorang tutor pendidikan kesetaraan.
Di balik ribuan angka partisipasi belajar warga negara, ada sosok-sosok yang bekerja tanpa banyak sorotan. Mereka bukan guru sekolah formal. Tapi mereka hadir di ruang-ruang belajar alternatif, dari gang sempit di kota besar hingga pelosok desa tanpa sinyal. Dan merekalah yang diam-diam menyalakan asa di balik statistik.
Siapa Itu Tutor Pendidikan Kesetaraan?
Tutor adalah pendidik di jalur pendidikan nonformal, khususnya pada program Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA). Mereka mengajar di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), taman bacaan, rumah-rumah warga, hingga ruang komunitas.
Tidak semua dari mereka lulusan pendidikan keguruan. Tapi semua punya satu kesamaan: mereka hadir karena panggilan, bukan sekadar profesi. Mereka melihat bahwa belajar adalah hak, bukan privilese.
Tantangan Mengajar di Jalur Nonformal
Mengajar di jalur formal sudah cukup menantang. Tapi di jalur nonformal, tantangannya sering kali datang berlipat ganda:
- Peserta didik yang beragam: Usia bisa sangat jauh berbeda, dari remaja hingga lansia. Tingkat pemahaman dan motivasi pun tak sama.
- Kondisi belajar yang minim fasilitas: Banyak PKBM tak punya ruang kelas tetap. Mengajar bisa berlangsung di ruang serbaguna, rumah warga, bahkan warung kopi.
- Jam belajar tidak teratur: Peserta didik biasanya bekerja. Maka pembelajaran sering dilakukan malam hari atau akhir pekan.
- Administrasi dan pelaporan yang rumit: Meski nonformal, beban administrasi pendidikan kesetaraan tetap mengacu pada standar nasional.
Namun para tutor bertahan. Karena mereka tahu, satu sesi belajar bisa mengubah arah hidup seseorang.
Mengapa Mereka Bertahan?
Jawaban ini tidak ada di modul pelatihan, tidak ada dalam angka statistik. Tapi bila Anda bicara langsung dengan mereka, Anda akan menemukan berbagai alasan yang menyentuh:
- “Saya dulu juga putus sekolah. Saya ingin orang lain punya kesempatan yang saya dulu tidak punya.”
- “Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau bantu mereka belajar?”
- “Saya ingin kampung saya punya lebih banyak orang yang percaya diri. Belajar bisa bikin itu terjadi.”
Mereka bukan guru biasa. Mereka mentor, kakak, sahabat, bahkan orang tua kedua bagi peserta didik.
Mereka yang Tak Masuk Kurikulum, Tapi Mengubah Hidup
Satu hal yang sering luput dari catatan pemerintah adalah peran emosional dan sosial tutor. Mereka tidak hanya mengajarkan matematika atau bahasa. Mereka juga:
- Membantu mengurus KTP peserta didik yang belum punya identitas.
- Mendampingi proses konseling peserta yang mengalami kekerasan rumah tangga.
- Menjadi perantara antara warga belajar dan instansi pemerintah untuk urusan beasiswa, pekerjaan, atau administrasi.
Banyak tutor yang bahkan menggunakan dana pribadi untuk membeli alat tulis, mencetak modul, atau memberi makan ringan saat belajar. Hal-hal yang kecil, tapi berdampak besar.
Ketika Pengabdian Tidak Diimbangi Pengakuan
Di tengah kontribusi besar mereka, tutor sering kali berada dalam bayang-bayang ketidakpastian:
- Honorarium rendah dan tidak tetap: Banyak tutor hanya mendapat insentif berdasarkan jumlah jam ajar. Bahkan ada yang tidak dibayar berbulan-bulan.
- Minim pelatihan dan pengembangan kapasitas: Pelatihan kadang hanya formalitas. Padahal mereka butuh lebih dari sekadar sosialisasi kurikulum.
- Tidak ada jenjang karier yang jelas: Tutor nonformal tidak punya jalur kenaikan pangkat seperti guru formal.
Akibatnya, banyak tutor yang semangatnya tinggi tapi hidupnya tidak cukup layak. Ini ironi di negeri yang katanya menghargai pendidikan.
Logika Kesetaraan Harusnya Dimulai dari Tutor
Kalau kita percaya bahwa pendidikan kesetaraan itu penting, maka logika kesetaraan juga harus berlaku bagi para pendidiknya. Artinya:
- Berikan akses pelatihan yang bermutu dan berkelanjutan.
- Pastikan honor yang layak dan rutin dibayarkan.
- Akui kontribusi mereka secara resmi dalam sistem pendidikan nasional.
- Ciptakan mekanisme evaluasi yang manusiawi dan sesuai konteks.
Mereka mungkin tidak mengajar di sekolah ber-AC. Tapi mereka mengajar dari hati. Dan itu tak bisa diukur hanya dengan presensi atau laporan excel.
Cerita-Cerita dari Lapangan
1. Pak Naryo dari Desa Pinggiran
Setiap sore, ia mengayuh sepeda sejauh 7 km untuk datang ke balai desa. Ia mengajar lima orang warga belajar Paket B. Ia hanya tamat SMA. Tapi semangatnya seperti profesor. “Yang penting mereka nggak merasa bodoh lagi,” katanya.
2. Mbak Winda dari PKBM Kota
Dulu ia kerja sebagai kasir minimarket. Sekarang, ia mengajar ibu-ibu usia 40-an yang ingin lulus Paket C. “Ibu-ibu ini luar biasa. Mereka datang habis masak, ngurus cucu, masih sempat belajar. Saya jadi malu kalau malas.”
3. Bang Jaya di Rumah Baca Pelosok
Ia bukan guru. Hanya pemuda yang cinta baca. Ia mengubah ruang tamu jadi perpustakaan mini. Lalu anak-anak kampung datang. Dari membaca cerita, mereka belajar menulis, menggambar, dan akhirnya ikut Paket A.
Cerita mereka bukan hanya inspiratif. Tapi juga jadi cermin bahwa pendidikan itu tentang relasi, bukan sekadar institusi.
Mari Hargai Mereka yang Membuka Jalan
Saat kita bicara soal capaian pendidikan nasional, angka-angka naik turun, partisipasi belajar, atau literasi, jangan lupa: ada orang-orang yang bekerja dalam senyap agar semua itu terjadi.
Tutor bukan sekadar “tenaga bantu”. Mereka adalah pilar yang menopang sistem pendidikan alternatif yang humanis dan inklusif.
Mereka adalah penjaga api belajar, bagi mereka yang tersingkir dari sistem.
Dan jika kita ingin sistem pendidikan yang benar-benar adil dan merata, maka kita harus mulai dengan menghargai mereka, mendengar mereka, dan mendukung perjuangan mereka.
Karena pada akhirnya, mereka bukan guru biasa. Tapi merekalah yang membuat pendidikan menjadi mungkin di tempat yang tak terbayangkan.





bahasa santai lugas sarat makna